Tradisi Nyadran Liyangan rutin dilakukan oleh warga setempat setiap awal bulan Suro penanggalan Jawa, sebagai wujud syukur atas kesejahteraan dan kemakmuran serta sebagai sarana mengirim doa kepada arwah leluhur.
Kirab diawali sejumlah pemuda yang membawa dua gunungan yang tersusun atas hasil bumi diiringi ratusan warga yang mengenakan pakaian adat Jawa berjalan dari balai desa menuju situs Liyangan yang berjarak sekitar 500 meter. Kirab tersebut diikuti kelompok kesenian tradisional dan warga sekitar yang membawa tumpeng dan ingkung ayam.
Setelah sampai kompleks Situs Liyangan, kepala desa dan sesepuh desa mengambil air suci yang berasal dari sumber air yang berada di komplek situs. Ritual dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama dan dilanjutkan dengan makan bersama dan pementasan kesenian tradisional.
Pada rangkaian tradisi “Nyadran Liyangan” ini, digelar pula pementasan wayang kulit selama tiga malam berturut-turut. Kepala Desa Purbosari, Sofiudin Ansori mengatakan bahwa ritual ini ditujukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat terutama hasil panen dari bercocok tanam.
Ia mengatakan, ritual sengaja dilaksanakan di Situs Liyangan sebab situs ini merupakan cikal bakal desa yang dibuktikan dengan adanya berbagai peninggalan bersejarah seperti candi, arca, alat pertanian, dan reruntuhan tempat tinggal. Ia mengajak masyarakat untuk turut serta menjaga situs dan belajar dari keberadaannya, dan juga cara bagaimana lebih mencintai alam, bertani, dan berbudaya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Temanggung, Didik Nuryanto, mengatakan bahwa Situs Liyangan telah menjadi perhatian dunia sebab situs ini mempunyai peninggalan serta bukti peradaban pada masa Mataram Kuno Abad ke-9. Ke depan, katanya Desa Purbosari akan dijadikan sebagai sebuah desa budaya. Maka dari itu dalam menjalankannya dibutuhkan keterlibatan seluruh masyarakat dalam menjaga dan melestarikan peninggalan yang ada.
sumber: soloraya.com